LongCut logo

Nasib JIS, Monorel, & Kalijodo: Terkuak Rencana Besar Pramono Teruskan Legasi Anies & Ahok

By Anies Baswedan

Summary

Topics Covered

  • Kota Tanpa Partisipasi Jadi Nekropolis
  • Intelligence City Bukan Hanya Teknologi
  • Kota Besar Tanpa Jiwa Tak Hangat
  • Partisipasi Bangun Kebudayaan Kota

Full Transcript

Saya ingin mengundang Pak Bambang Susantono untuk memantik diskusinya.

Monggo Pak Bambang.

Assalamu'alaikum wr wb.

Jadi memang malam ini temanya menarik sekali.

Polis itu adalah bahasa Greek, bahasa Yunani yang artinya kota.

Kita kenal ada Metropolis, ada megalopolis, ada bahkan smartopolis dan sebagainya.

Tapi malam ini kita berdiskusi tentang di mana participation itu melekat di dalam satu proses pembangunan perkotaan.

Memang kalau dari teori-teori selalu kita sampaikan bahwa kalau kota tanpa partisipasi itu bisa jadi nekropolis.

Apa itu nekropolis?

City for the dead katanya, gitu kan.

Jadi ya kalau benar-benar buntu semuanya, maka partisipasi tidak terjadi dan akibatnya tentu kita tidak memiliki satu kota yang bisa menciptakan satu kolaborasi yang maksimal, co-creation dan sebagainya.

Ibu Bapak sekalian kita melihat juga kota itu adalah living lab.

Karena multifasad ya dan begitu banyak interest ada di kota.

Salah satu mahaguru dari urban planners yaitu Prof. Manuel Castells

yaitu Prof. Manuel Castells kebetulan beliau guru saya.

Menyatakan bahwa city is an arena of conflict because there's so many interest in the cities.

Kadang-kadang...

bukan kadang-kadang, many times dia bilang the result of all the resultan of the forces in the cities itu memang tidak 100% sesuai dengan rencana.

Sehingga di situlah sebetulnya ada kepiawaian siapapun administratornya, untuk mencoba mewadahi bagaimana tadi kolaborasi, ko-kreasi dan sebagainya itu menjelma menjadi satu kekuatan walaupun tidak sesuai dengan plan tapi itu merupakan hal yang terbaik buat perkembangan kota.

Tugas saya sebagai provokator malam ini.

Jadi kalau kita melihat hal tersebut bahwa city adalah living lab, maka pertanyaannya adalah apakah kita sedang menyaksikan urban renaissance sekarang?

Karena tadi disebutkan oleh Mas Anies bahwa kota itu memiliki segalanya.

Economic of skill, economic of scope economic of brain.

Itu semua ada di kota.

Kita melihat setelah revolusi industri itu ada satu perkembangan di mana kota-kota 1.0 mereka hidup dari satu kekuatan teknologi akibat revolusi industri.

Tapi kita lihat sekarang smart city.

Saya lebih suka Mas Anies tidak menyebut smart city tapi intelligence city.

Bedanya adalah kalau smart city itu kita cuma bicara teknologi.

Kalau intelligence city itu kita bicara ekosistem dan orangnya yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan kotanya.

Jadi bukan hanya teknologinya, tapi kita bagaimana menyiapkan urban citizen menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari satu kemajuan teknologi.

Yang menarik kenapa kami lontarkan urban renaissance tadi?

Karena kota-kota di negara berkembang itu paling tidak harus memiliki 2 hal.

Kalau Jakarta ingin jadi global city, satu sisi dia harus menyelesaikan PR-nya yang tadi klasik tuh 3 macet air polusi dan kemudian banjir.

Tapi di sisi lain dia harus melompat juga dari sisi teknologi.

Harus melompat dari sistem teknologi.

Kalau nggak dia tidak akan menjadi sejajar dengan kota-kota lain di dunia, ya.

Jadi ada 2 track yang harus dilakukan.

One is the basic need services, the other one is leapfrogging (lompatan) to advance with all the teknologi with all the IT.

Kita bicara masalah-masalah misalnya artificial intelligence, kita bicara masalah robotik, kita bicara misalnya bagaimana driverless car nanti akan hadir di kota-kota dan sebagainya.

Jadi 2 hal tadi harus berjalan bersama-sama dan itu merupakan PR yang cukup besar.

Menurut banyak pihak salah satu kuncinya adalah bagaimana mengoptimalkan partisipasi dari publik sehingga mereka merasa terwadahi dan mereka juga merasa dapat melakukan lompat-lompatan teknologi, lompat-lompatan hal-hal yang berkaitan dengan ekosistem di dalam satu perkotaan.

Saya akan stop di sini.

Saya ingin menggarisbawahi bahwa kalau kita bicara tentang kota tentu ada 3 faktor.

Yang pertama city is about the people, yang ke-2 the people, yang ke-3 the people.

Jadi kita nggak ada artinya mempunyai satu kota yang grande, bagus sekali.

Saya ke Naypyidaw, ibu kotanya Myanmar itu jalannya 20 lajur, Pak Ilham 20 lajur.

10 di satu sisi, 10 di sisi lain.

Tapi kalau kita ke sana kita nggak dapat vibenya nggak dapat warmth (kehangatan), kita nggak dapat satu ekosistem di mana kita benar-benar merasa nyaman di kota itu.

Silakan ke Naypyidaw.

kalau Bapak Ibu ingin melihat benar-benar salah satu kasus di mana city without a soul.

Jadi satu kota yang tidak mempunyai soul.

Jadi harapan saya tentu let's develop a city not only to be a livable city, but also lovable city.

I stop here terima kasih, Pak.

Kembali ke Mas Anies.

Makasih Mas Jadi dari apa yang tadi disampaikan saya rasa salah satu kata kuncinya adalah tentang people.

Kota itu bangunannya masih ada kalau penduduknya hilang maka disebut kota mati.

Jadi yang disebut kota hidup itu bukan karena ada gedung, tapi karena orangnya.

Tadi beliau menyebutkan tentang intelligence city.

Satu pendekatan yang berbeda bukan sekedar tentang teknologinya dan pada akhirnya liveable city is important but more important is lovable city.

Mungkin kita ingin dengar pandangan...

kalau boleh saya ingin mengundang Pak Dino.

Barangkali Pak Dino bisa berbagi your view your experience karena Pak Dino tinggal di berbagai kota dunia.

Menyaksikan dari perspektif domestik, internasional dan melihat juga dari kacamata tantangan sustainability yang sekarang dihadapi oleh dunia.

Jadi kalau boleh saya berharap nanti Pak Dino untuk bisa memberikan pandangan.

Lalu di sampingnya Pak Hilmar.

Pak Hilmar kita tadi bicara peradaban is in the city dan semua peradaban dunia itu pasti berada di polis.

Pasti di polis itu, di kota.

Pertanyaan mendasarnya bagaimana dengan Indonesia dan bagaimana kita ke depan memiliki kota yang bisa menjadi sebuah sentral tumbuhnya peradaban?

Saya ingin mengundang Pak Dino mulai dulu Pak Hilmar sambil siap-siap.

Nanti berikutnya kita ambil giliran.

Saya agak surprise ya diminta untuk memberikan komentar karena saya terus mendengarkan dan berpikir.

Terima kasih bisa mengundang saya di acara ini.

Ini sebagai pemikiran aja, Pak Pram.

Saya baru mengunjungi anak saya di Berkeley.

Kita tahu Berkeley, ada yang pernah di sana.

Tapi kotanya itu mengalami decay yang luar biasa, Pak.

Crime, kemudian homeless dan lain sebagainya.

Di San Francisco lebih parah lagi.

Waktu saya jadi duta besar di Amerika Serikat, saya ke San Francisco luar biasa indah, cantik.

Tapi sekarang di Tenderloin di segala macam itu udah banyak homeless, udah nggak nyaman dan lain sebagainya.

Anak saya yang satu lagi di St. Louis, juga begitu.

Kota yang tadinya cantik you cannot go 5 miles outside the campus, karena bahaya, Pak.

Intinya we need to understand juga ini, ya.

Kalau kita belajar kota Kenapa kota-kota itu mengalami kemunduran?

Saya tidak punya penjelasannya.

Tapi itu layak kita cari tahu.

Jadi itu satu.

Nah ke-2 mungkin kalau mengenai Jakarta Yang saya ingin lihat itu, Pak Jakarta menjadi kota turis, Pak.

Kenapa saya bilang begitu kalau orang di luar negeri kalau mereka mau ke Indonesia nggak ada yang bilang saya mau ke Jakarta, kalau ke Jakarta untuk bisnis.

Kalau mau ke turis mereka ke mana?

Ke Bali dan ke Jogja, ya.

Kalau Jakarta kota turis itu adalah untuk orang Indonesia yang ada di luar.

Mereka mau lihat megahnya istana, megahnya kota-kota tua ini dan lain sebagainya.

Saya ingin sekali melihat Jakarta itu diolah, Pak menjadi kota turis yang menarik bagi orang di luar negeri.

Jadi mereka nggak mikir hanya Bali, Jogja atau Labuan Bajo dan lain sebagainya.

Itu yang harus kita cari tahu.

Kemudian saya juga baru beberapa lama lalu mengunjungi Penang dan itu contoh kasus yang menarik.

Karena satu kota itu berubah nasibnya hanya karena melakukan satu hal.

Jadi di tengah kota Penang itu ada sungai.

Tadinya sungai itu kotor, nggak terurus.

Tempat pembuangan, segala macam ya limbah dan lain sebagainya dan kemudian mereka mengubah itu, nggak boleh ada limbah masuk di sana sungainya jadi jernih, dibersihkan dan sekarang sungai itu jadi tempat wisata.

Jadi orang naik kapal, naik perahu melintasi di sepanjang sungai itu banyak lampu-lampu, banyak penginapan, banyak restoran.

Jadi benar-benar mengubah total wajah kota itu, Pak.

Saya juga pengen lihat di Jakarta tuh mungkin yang kayak begitu, Pak.

Kita kan ada sungai-sungai, ya yang mungkin wajahnya bisa diubah dan bisa mengubah wajah dari kota.

Kemudian mungkin satu ide, ini ada ide yang dari dulu saya pernah mimpikan tapi nggak pernah tercapai.

Saya kan tinggal di Kemang, nih.

Di Kemang itu ada orang yang mampu sama banyak kampung-kampung.

Pak Pram juga tinggal dekat-dekat sana.

Banyak lorong-lorong.

Saya pernah bicara dengan salah satu dubes gimana kalau salah satu lorong itu kita bikin temanya misalnya Itali atau Venice atau Perancis.

Jadi undang arsitek dari Perancis atau dari Itali, dari Jerman bikin lorong itu nuansa dari negara-negara itu, Pak.

Mungkin harapannya kalau terjadi itu bisa menambah daya tarik ekonominya.

Ini di sisi Italian corner atau apa gitu nuansanya.

Nuansa Italy dan lain sebagainya.

Saya masih berharap itu bisa dilakukan.

Gitu Pak, ya.

Saya juga ngelihat di kampung-kampung ini banyak tempat olahraga yang jadi tempat berkumpul, tapi masih kumuh.

Apakah swadana atau dibantu oleh pemerintah DKI.

Wali Kota Jakarta Selatan mereka itu dikasih dana untuk memperbaiki sarana olahraga di kampung-kampung ini yang tiap malam tuh rame, tapi jelek sekali.

Karena memang bukan tanggung jawab siapa-siapa.

Tapi alangkah baiknya kalau bisa masuk dan dibenahi.

Terakhir Pak Saya perhatikan di pengkolan rumah saya itu dari kecil sampai sudah pensiun itu ada jalan yang bopel gitu, Pak.

bopel dalam gitu ya...

Jadi mobil tuh suka susah, harus bermanuver pada suatu ketika jalan itu dibenerin, tapi setelah saya udah tua.

Jadi akhirnya ada yang dengerin keluhan saya.

Saya nggak kasih tahu di era siapa.

Era gubernur apa.

Tapi akhirnya ada pihak yang merespon ini.

Hal yang sangat kecil dan jujurnya saya pikir wah ini nggak akan terselesaikan, nih.

Memang mungkin perlu ada itu, Pak suatu hotline atau apa, di mana hal-hal sekecil apapun bisa dilaporkan dan langsung ditindak lanjuti seperti bolongan yang ada di pengkolan di sekitar rumah saya.

Saya nggak tahu apa sudah dibenerin atau nggak.

Itu ada jam di dinding dekat Starbucks, tuh dekat Sari Pan Pacific ada jam besar itu.

Dulu salah melulu waktunya.

Padahal jam di jalan protokoler.

Tapi salah terus dulu.

Tapi akhirnya dibetulin.

Jadi akhirnya ada yang ngeberesin itu.

Intinya gitu, Pak.

Mungkin ada fasilitas hotline bahkan untuk hal-hal kecil warga bisa melaporkan untuk bisa diperbaiki.

Makasih.

Ini tadi Pak Pram bilang mau merespon sebentar atas apa yang disampaikan.

Pak Anies dan rekan-rekan sekalian, yang pertama saya ini memang di awal bertekad untuk melanjutkan hal-hal yang baik dari gubernur sebelumnya.

Makanya misalnya legasinya Mas Anies tentang JIS.

Sekarang itu betul-betul menjadi salah satu yang saya dorong.

Mudah-mudahan di tahun depan udah selesai semuanya.

Apa yang saya lakukan?

KRL sebentar lagi berhenti di JIS.

Kemudian JIS dengan Ancol saya hubungkan dengan jembatan kurang lebih 300m.

Sehingga dengan demikian nanti kalau semua orang sepak bola atau konser nggak boleh, nggak perlu lagi parkirnya di JIS.

Semuanya di Ancol.

Karena di Ancol itu untuk mobil 10 ribu juga oke, motor juga 10 ribu juga oke.

Kalau itu bisa terjadi maka apa yang dulu dicita-citakan Mas Anies termasuk nanti ada Museum Persija dan sebagainya segera akan kita wujudkan.

Jadi saya mencoba untuk konsisten merajut apa yang ditinggalkan oleh para gubernur sebelumnya, termasuk Pak Sutiyoso.

Ketika saya tanya, Pak, dari Bapak apa yang pengin saya bereskan?

Beliau bilang monorel dan alhamdulillah saya berjuang setengah mati, akhirnya monorel selesai.

Januari nanti kita bongkar, kita buat pedestrian.

Kita rapikan lah.

Mudah-mudahan juga secara signifikan akan mengurangi kemacetan di Jakarta.

Dari Pak Ahok, Sumber Waras.

Di sini Pak Ahok itu orang yang jarang berterima kasih, tapi gara-gara Sumber Waras telepon khusus ke saya untuk terima kasih.

Karena kalau nggak, case-nya nggak berhenti-berhenti lah.

Sekarang ini Sumber Waras tadi pagi dari Ibu Atika kita akan membuat itu menjadi RS internasional.

Kita sudah mendapatkan blessing, baik dari Menteri Kesehatan maupun dari Menteri Perekonomian.

dan saya sudah melaporkan kepada Bapak Presiden, prinsipnya disetujui.

Saya satu lagi yang mungkin saya akan (bereskan) ini (di era) Pak Ahok, Kalijodo.

Kalijodo itu kan dulu haram jadah menjadi sajadah, sekarang balik lagi menjadi haram jadah.

Mudah-mudahan segera kami selesaikan.

Salah satu hal yang kemudian saya copy dari apa yang dilakukan Mas Anies di Ecopark.

Nanti Mas Anies saya akan undang Mas Anies di Taman Bendera Pusaka.

Itu kurang lebih sama bahkan lebih besar karena luasnya menjadi 6,5 hektar.

Ada jogging track 1,2 kilo.

Taman Bendera Pusaka itu di Jalan Barito itu dan nanti di situ akan menjadi berandanya Asean.

Apa yang akan kami kerjakan dalam waktu dekat?

Tahun depan ini kita mulai TOD.

TODkita lanjutkan mulai dari Bundaran HI.

Jadi antara Grand Hyatt, Pullman, Mandarin, Kempinski itu akan terhubung di bawah dan langsung masuk ke MRT.

Kemudian di Dukuh Atas kita akan sambungkan di atas dan itulah yang kemudian akan menyambungkan 4 moda MRT, LRT, TJ dan bandara.

Tetapi saya juga melihat sebenarnya tren Jakarta ke depan ini kenapa menjadi lebih baik?

Yang pertama, karena sekarang ini secara tidak sengaja dan mendadak ada euforia masyarakat dari Malaysia maupun Singapura, bahkan sekarang ini ketika awal awal saya menjabat, penerbangan dari Kuala Lumpur atau dari Malaysia ke Indonesia itu hanya 5 flight.

Sekarang bisa 2-15 flight.

Kenapa sebabnya?

Pertama karena whoosh.

Jadi orang datang ke Jakarta hari Jumat, biasanya hari Sabtunya ke Bandung naik whoosh, malam balik nginep semalam lagi kemudian hari Minggu pulang.

Ini menjawab pertanyaan tadi Pak Dino tentang Jakarta menjadi kota turisme.

Maka untuk itu saya mendorong sekarang lebih apa yang saya lakukan bekerja sama dengan PIK 2.

Maka kenapa kemudian saya membuka Trans Jabodetabek.

Sekarang ini PIK 2, Mas Anies hampir setiap hari pengunjungnya itu udah puluhan ribu dan masyarakat dari Malaysia maupun Singapura mohon maaf yang Chinese, sekarang mulai dari hari Jumat Sabtu Minggu sampai Senin banyak di Jakarta maupun di PIK 2.

Karena bisa ke PIK seenaknya.

Mereka clubbing, mereka kemudian bisa belanja.

Karena kurs kita lagi begini.

Yang paling utama adalah karena kalau belanja di Jakarta nggak ada pembatasan jumlah barang yang dibeli, kalau di Singapura kan sekarang ada pembatasan di mana-mana ada.

Mereka bisa beli 10, mau 10 tas Hermes atau apapun monggo aja kalau punya duit.

Inilah kenapa kemudian ketika ekonomi middle ke bawah lagi lesu, yang middle up-nya malah sekarang ini mengalami naik.

Boleh dicek di toko-toko yang branded di mall-mall itu sekarang hampir semuanya rata-rata kalau bukan orang Singapura, orang Kuala Lumpur, orang dari Mainland.

Karena mereka kan udah nggak boleh lagi belanja di mana-mana.

Jadi menurut saya seperti yang disampaikan Pak Niko, menurut saya itulah yang sekarang menjadi pemikiran.

Jangan mereka datang karena clubbing, datang karena beli tas atau naik whoosh.

Menurut saya itu udah makanya saya bilang sama Pak Hilmar Farid untuk kita kembangkan Kota Tua dan alhamdulillah udah disetujui oleh Bapak Presiden maupun oleh Kementerian Investasi dan Danantara, mudah-mudahan tahun depan TOD persiapan TOD Kota Tua maupun Monas sudah kita persiapkan.

Karena dari tahun 2027 Monas sudah selesai.

Permukaan dari Monas sampai dengan Kota Tua sudah tidak ada kerjaan semuanya udah ke bawah, maka kita akan mempersiapkan TOD untuk Kota Tua.

Untuk itu saya benar-benar berharap masukkan saran dari Bapak Ibu semuanya.

Terima kasih Mas Pram.

Teruskan diskusinya terima kasih Pak Pram.

Jadi kita ingin tempatkan kita semua di sini sebagai kolaborator dan kalau boleh menggenapkan yang sampaikan Dedi di awal, why there is Karsa City Lab?

Penduduk Indonesia yang di kota makin besar, arah pembangunan kota organik tanpa ada arah untuk menjadi liveable, apalagi lovable.

Karena itulah kita merasa punya tanggung-jawab moril.

Daripada kita menuntut pemerintah let's step up dan memiliki sebuah think tank yang menghasilkan produk-produk yang monggo dipakai, monggo dijadikan rujukan.

Karena itulah mengapa kita mengundang Bapak Ibu sekalian di sini untuk berdiskusi bersama.

Ini sebagai awalan.

Nantinya kita berharap punya workshop- workshop yang diikuti oleh para wali kota.

Sehingga wali kota - wali kota di Indonesia memiliki values.

Yang values itu nanti diturunkan jadi policy.

Kalau ada values kesetaraan maka segregasi di kota ini di kota manapun akan terlihat.

Tapi kalau kesetaraan tidak menjadi value, ya melihat segregasi tidak dianggap sebagai masalah.

Lalu kita melihat tentang kota yang penuh dengan ketimpangan tingkat pendidikan.

Ya kalau itu tidak pernah dipandang sebagai isu ya ini dianggap sebagai sesuatu yang biasa saja.

Karena itulah kita berharap ada kontribusi pikiran dari Bapak ibu sekalian di sini.

Tadi menarik disampaikan Pak Dino terkait dengan bagaimana membuat kota ini atraktif juga dan itu saya rasa bisa menjadi pertanyaan yang sama untuk seluruh Indonesia.

Bagaimana membuat sebuah kota itu atraktif?

Kita tahu sebenarnya Indonesia ini punya 2, nature and culture.

Lihat Eropa sana begitu banyak dalam sebuah negara kota-kota yang memiliki daya tarik.

Jadi saya ingin mengundang untuk bicara sambil nanti kita mengundang Pak Hilmar untuk bicara sambil berikan sesudah Pak Hilmar barangkali di sini ada suara anak muda.

ada Abigail di sini.

Jadi Abigail sesudah Pak Hilmar Abigail siap-siap.

Sebenarnya kita bisa mengajak juga yang lain untuk mengaku muda di sini, Pak.

Saya kira ada 2 hal penting yang tadi disampaikan Pak Anies ya.

Ketika bicara pertama kita bicara tentang kota, bicara tentang orangnya lebih daripada bangunan fisik ya.

Tadi juga disebutkan partisi polis, ya.

Jadi partisipasi ini juga memainkan peran yang sangat penting dalam pertumbuhan kota.

Mengapa begitu?

Karena kota di Indonesia kalau kita perhatikan sejarahnya adalah kota yang tumbuh karena adanya kekuatan exogenus dari luar.

Jakarta umurnya 500 tahun.

1527 dibangun, Jayakarta dihancurkan oleh Jan Pieterszoon Coen.

Total dan dibangun sesuatu yang sama sekali baru, Batavia dan menjadi Jakarta yang kita kenal sekarang.

Kalau kita perhatikan pertumbuhan kota dari waktu ke waktu tadi dibilang pusat peradaban, sesungguhnya adalah peradaban kolonial terlebih dulu dan kemudian orang pribum datang untuk bekerja, untuk cari makan menyumbang kepada peradaban tersebut, menjadi bagian, tetapi selalu ada unsur segregasi di dalamnya dan itu bertahan untuk waktu yang cukup lama.

Kalau kita perhatikan itu bisa terlihat morfologi kota misalnya, ya.

Jadi kita lihat di tengah ada keteraturan Menteng, dan Kota Lama, Kota Tua.

Tetapi di pinggir-pinggirnya kita lihat kampung yang tidak beraturan itu.

Sampai sekarang saya tinggal di Condet, ya di mana bangunan dibangun lebih dulu daripada jalannya.

Jjadi jalannya selalu meliuk-liuk di dalam gang-gang yang tidak beraturan seperti nggak punya keteraturan.

Kita nggak bisa undo, ya.

Kita nggak bisa bongkar kotanya bikin sesuatu yang baru.

We are not Singapore.

Singapore lakukan itu dengan HDB tahun '70an.

Kita nggak punya kemewahan untuk kemudian meratakan kota, membangun sesuatu yang baru.

Kita harus hidup dengan itu.

Saya kira di sinilah unsur partisipasi menjadi sangat penting, ya.

Bermuara kepada satu soal yaitu tumbuhnya kebudayaan kota dan ini soal yang sering sekali dibicarakan, tapi umumnya orang kemudian terbatas pandangannya kepada hal-hal yang sifatnya permukaan.

Kota yang hidup adalah kota yang banyak pertunjukan, sinema dan seterusnya.

Which is good.

Tetapi pada saat bersamaan kita ingin lihat satu kota yang tumbuh masyarakatnya dengan karakter.

Kita bisa bicara tentang New Yorker kita bisa bicara tentang Barcelona, tapi kita nggak bisa ngomong tentang Jakarta.

Beda sekali Condet, Jakarta Timur dengan Jaksel.

I'm a proud East Jakarta.

Tapi dengan teman-teman Jakarta Selatan atau kita bicara Jakarta Barat, PIK dan seterusnya, belum lagi Jakarta Utara.

it's a characteristic dan seterusnya.

Jadi kalau boleh mungkin berpesan di dalam proses partisipasi kebudayaan harus punya tempat yang cukup besar, ya.

Sehingga partisipasi ini bukan hanya soal kebijakan mengenai hal-hal yang sifatnya physical, tetapi juga yang sifatnya cultural dan itu saya kira untuk setiap kota yang sehat itu sangat-sangat esensial.

Di Eropa sekarang ini orang merasakan kebalikannya, ya.

Setelah kebanggaan cukup lama hidup di dalam satu kota dengan karakter, karena serbuan turis yang nggak ada habisnya ini timbul reaksi dari penduduk kota.

Barcelona menolak datangnya turis, Edinburg menolak datangnya turis dan itu gerakan muncul di mana-mana.

Jadi kalau misalnya sekarang kita membayangkan suatu hari Jakarta akan menjadi seperti itu, kita juga mesti lihat masa depannya sudah mengatakan tidak.

Itu harus ada imbang antara merayakan keindahan kota dengan kehidupan yang bermakna itu, itu harus betul-betul berimbang.

Jadi kalau boleh titip pesan teman-teman Karsa, ini soal kebudayaan ini perlu betul-betul diintegrasikan, ya di dalam perencanaan kota bukan sebagai taken, ya.

Kita nggak mau partisipasi cuma karena...

mohon maaf, ya musrembang kan sangat formalistik.

Kita tahu, ya.

Jadi ini juga perlu diubah.

Kebetulan saat ini sedang dengan Bappeda juga ingin mengembangkan art based approach dalam musrenbang ini.

Karena kadang-kadang orang punya pemikiran, punya aspirasinya di dalam hatinya dia tahu dia nggak punya bahasanya untuk mengartikulasikan itu dan itu kadang-kadang menjadi problem besar.

Sehingga aspirasinya tidak pernah tertangkap.

Karena masuk ke dalam musrembang sudah bicaranya harus ada "mohon izin" dan salamnya terlalu banyak dan seterusnya, akhirnya nggak ngomong.

Karena mereka udah intimidated sebelumnya.

Jadi mungkin poinnya yang ingin saya sampaikan culture place very important role in all this.

Makasih, Pak Anies.

Makasih Pak Hilmar.

Pak Ilham barangkali tempat ini lama-lama nanti punya nama sendiri, Pak.

Tentang aturan main forum di tempat ini, Pak.

Karena ini sebuah tempat seperti dibilang tadi tempat di mana ilmu banyak dibahas di ruangan ini.

Saya ingin...makasih Pak Hilmar kita terusin, ya Pak Hilmar percakapannya tentang budaya.

Nah, ini ada...

saya ingin undang yang perspektif muda, silakan Abigail.

Selamat malam, Bapak, ibu, Pak Anies, Pak Bambang, Pak Ilham.

Mungkin kalau aku berbagi dikit dari perspektif aku yang ternyata masih dibilang orang muda dan dari urban.

kalau misalnya soal city itu udah pasti yang terpenting yang aku i wanna see more of itu public spaces, sih.

Public spaces yang available untuk semua orang.

Kalau misalnya aku jalan-jalan kayak ke Singapura atau Jepang atau bahkan Vietnam, itu banyak sekali museum gratis.

Terus habis itu juga public library yang bukanya sampai malam juga yang di mana orang-orang bisa hang out di situ, bisa memperkaya diri atau bisa jadi bahan rekreasi tanpa harus selalu bayar-membayar, gitu.

Jadi terbuka untuk semua orang.

Terlebih lagi mungkin taman untuk bisa pada piknik dan sebagainya.

Jadi kayaknya salah satu komplain-an yang aku paling sering dengar dari orang muda kalau soal Jakarta specifically kalau pengin hangout tuh, mahal banget.

Pasti kita harus bayar kayak di restoran lah, kafe atau apa segala.

Soalnya opsi-opsi yang di mana bisa hangout atau ya hangout dengan nyaman itu tuh sangat terbatas.

Banyak juga orang-orang muda tadi aku baru diskusi sama Galuh yang orang muda juga mungkin habis ini bisa nanya perspektifnya juga, udah mulai bosen kalau harus ke mall doang untuk jalan-jalannya, untuk hangout, ya.

Jadi definitely public spaces yang available untuk semua orang.

Lalu setelah itu seperti yang semua orang mengalami pasti kemacetan, ya.

Itu juga pastinya kalau bisa dibuat lebih baik itu pasti akan membantu banyak banget orang dalam pengalamannya untuk jadi city ini liveable.

Juga tadi sempat ngobrol juga sama Mas Aiman, bahwa kayaknya trotoar semuanya sidewalk dibenerin yang lebar, gitu supaya nyaman jalan-jalan itu juga bisa membantu banget.

Banyak ruko-ruko aku suka lihat di beberapa bagian Jakarta, tuh ada ruko-ruko yang mati banget kayaknya, ya.

Soalnya parkirnya susah di situ dan mungkin udah jarang mobil yang lewat situ.

Nah, itu akhirnya jadi struggling.

Tapi kalau misalnya public transport dan trotoarnya diperbaiki, mungkin itu bisa ngebantu juga lebih banyak spot-spot Jakarta yang bisa hidup lagi.

Mungkin dari aku itu dulu.

Bagus, silakan Bagus.

Terima kasih, Pak Anies.

Salam hangat, Pak Ilham Habibie, rekan-rekan yang saya hormati.

I'm a asisten profesor at The University of Nottingham di Inggris dan saya pernah kerja di sebuah kota kecil di Perancis, namanya Toulouse.

Pada tahun 2002, pada waktu itu da sebuah pabrik pupuk meledak.

Kemudian kontaminan dari pupuk itu kemudian mencemari seluruh kota dan orang pada sakit akhirnya.

Akhirnya militer pergi ke departemen matematik di sebuah Kota Toulouse untuk membuat sebuah alat pemodelan yang bisa membuat kota memprediksi kalau kejadian serupa terulang, orang harus terevakuasi ke mana.

Founding itulah yang membuat saya menjadi postdoc researcher di Kota Toulouse pada waktu itu untuk membuat metode numerik untuk memprediksi pulutan dispersion di situ.

dan Toulouse akhirnya menjadi kota yang sangat terkenal untuk fluid dynamic simulation karena Airbus ada di situ.

Itulah yang sebenarnya membuat saya berpikir untuk membawa institusi bekerja sama dengan kota Jakarta.

Kami bersyukur Jakarta menyambut baik dan berkat Ibu Atika, Pak Pramono Anung dan rekan-rekan, kita punya formal MoU with Jakarta.

Memang riset itu belum menjadi insentif bagi peneliti peneliti di Indonesia untuk dikerjasamakan dengan kota.

Lain dengan di Inggris, di Perancis ada insentif inheren untuk melakukan itu.

Tapi Jakarta punya legacy di dalam ilmu pengetahuan.

Pertama kali orang tahu tentang vitamin B1 sebagai penyembuh beri-beri itu di Batavia by Christiaan Eijkman, in here but we never hear that legacy anymore.

That's because of birokrasi.

Jakarta harusnya menjadi tempat di mana orang belajar tentang land subsidence, tentang giant sea wall, tentang ground water transport, contaminant dispersion, polutan dispersion, elektric vehicles.

Jakarta adalah melting pot di mana orang dengan beragam bahasa itu bisa berada di dalam keharmonisan di sini.

Saya melihat Jakarta itu punya potensi mengingat ambisinya untuk naik ranking di Global Power City Index yang kriterianya itu salah satunya adalah research expertise, research activities.

Inilah yang universitas seperti di mana saya mengajar itu ingin bekerja sama bukan hanya dengan pemerintah pusat, karena kami merasa bahwa riset harus menjadi domain pemerintah daerah.

Mungkin dari saya itu.

Terima kasih, Bagus.

Makasih banyak.

Saya ingin memberikan kesempatan untuk yang berminat untuk jump in dalam percakapan ini untuk mengacungkan tangan.

Dari banyak perspektif yang tentu ada di sini barusan Aiman angkat tangan.

Silakan Aiman.

Kalau kita bicara...

saya kebetulan 25 tahun saya jadi wartawan.

Sempat juga macam-macam itu nakal, tapi kemudian juga mungkin saya yang paling lengkap karena sempat nyebrang sedikit jadi politisi.

Habis itu dilaporin polisi, gitu kan.

Tapi tetap fight untuk mengatakan kebenaran.

Nah, yang ingin saya sampaikan adalah mungkin yang di sini banyak dari sisi cendekiawan yang kemudian menyampaikan hasil riset.

Tapi saya ingin sampaikan mungkin yang paling dekat dengan publik, dengan masyarakat itulah wartawan.

Kenapa? Karena kami mendengar suara rakyat setiap hari, kami melihat data setiap hari.

Bahkan setiap hari itu ada beberapa kali data ke kami, isu apa yang paling diminati oleh publik itu whole ya by Nelson Media Research dan itu valid.

Saya bilang sekarang pegang 7 media.

Bukan hanya TV, tapi TV, radio, portal, online media termasuk juga seluruh medsos yang ada di inews.

Yang saya lihat dari data itu, khususnya di kota-kota sebut saja Jakarta, yang mereka inginkan dari perubahan adalah quick wins.

Apa quick wins yang bisa mereka setidaknya lihat dan rasakan?

Itu yang menjadi PR.

Bagi saya, tadi saya sempat diskusi sedikit dengan kakak Abigail.

Sebenarnya yang paling bisa mengubah quick wins itu adalah pandangan kita soal kabel dan trotoar.

Modal 2 itu aja.

Kabel diturunin, trotoar dilebarin.

Karena nggak usah khawatir transportasi publik, public transportation di Jakarta itu sudah cukup baik.

Meskipun feeder-feeder-nya masih banyak masalah.

Itu akan sangat berubah meskipun tentu akan terjadi masalah baru.

Karena ada banyak sekali wilayah-wilayah, daerah yang memang masih belum bisa diperbaiki.

Saya kecil di Sentiong, Kramat Sentiong.

Pindah dari Kramat 6 ke Kramat Sentiong.

Kemudian sekolah di selatan, Pondok Labu.

SMP SMA.

Meskipun sekarang tergeser ke Cinere, Depok.

Jadi kalau kita lihat Sentiong, misalnya.

Saya sekarang masih sering lihat di situ kemarin diundang sama NU jadi kebetulan dekat saya jalan kaki dari NU ke situ.

Saya lihat, ih makin kumuh, ya. Makin kumuh.

Di satu sisi mungkin bagus, tapi ketika sedikit ke dalam cukup menyedihkan.

Nah, ini itu tengah kota loh sangat tengah kota.

Kramat Sentiong, tuh sangat tengah kota.

Tentu hal-hal seperti ini yang menjadi prioritas.

Ada step-step yang bisa dilakukan.

Tetapi quick wins itu yang menurut saya harus segera dilakukan untuk para perencana tata kota.

Terima kasih.

Thank you, Aiman.

Kasih tepuk tangan, dong, buat Aiman.

Makasih.

Welcome, Pak Gita Wiryawan.

Jadi kita baru berdiskusi round table nih, Pak.

Tentang kota.

Saya ingin barangkali dapat perspektif juga terkait dengan ruang bersama.

Pak Harun kalau boleh Pak Harun ikut memikirkan.

Kalau belum siap ngomong nggak papa, tapi pikirin dulu, Pak Harun tentang bagaimana ruang bersama, ruang ke-3 karena beliau salah satu yang menyediakan banyak tempat itu pada kita semua di kota ini.

Lalu juga kita tadi dengar apa sih masalah di Jakarta itu?

Yang kalau ditanya di sosial media, publik media, pasti akan keluar banjir, macet dan polusi.

Tapi coba survei, nggak keluar itu.

Nggak akan berada di top 5, nggak akan.

Nomor satu apa? Biaya hidup.

Satu pasti yang keluar itu.

Yang ke-2, lapangan pekerjaan itu yang keluar.

Yang ke-3 kesehatan, pendidikan itu satu paket.

Itu selalu berada di puncak paling atas.

Kalau tanya banjir, kalau yang kena pun itu ada sampai 50 RT.

Bu Atika, ada berapa RT di Jakarta, Bu Atika?

Ada 23.000.

Nah bayangkan kalaupun ada 50 RT kena, memang jadi berita sensasi.

Tapi penduduk Jakarta ini yang kena sedikit sekali.

Jadi itu memang kita omongin.

Tapi itu nggak affecting ke semua orang.

Saya pernah ditanya, Pak kalau yang paling dipikirin apa kalau pagi ketika tugas?

Indeks harga Jakarta, indeks harga kebutuhan pokok Jakarta itu yang malah dipikirin.

Jadi ada soal pendidikan, ada bu Ela di sini.

Kalau bisa Bu Ela kasih perspektif gimana sesungguhnya kota dengan urusan yang mendasar ini.

Global talents ketika ditanya kenapa mau memilih berada di sebuah kota?

Maka global talents akan bilang nomor 1 kualitas udara, nomor 2 kualitas kesehatan, 3 kualitas pendidikan.

Baru dia mau datang ke sebuah kota.

Ini contoh perspektif.

Jadi saya mengundang untuk tambahan perspektif di sini.

Terima kasih Aiman tadi soal quick win-nya.

Sudirman-Thamrin udah mulai dikosongin, tapi kita harus lakukan lebih banyak lagi ke depan.

Silakan.

Saya Harun Hajadi.

Saya memang di sini tadinya ingin sebagai pendengar, Pak.

Seperti Pak Dino juga tadi.

Saya sebagai developer tentunya punya perspektif yang agak berbeda.

Karena yang kita inginkan itu dari dulu sebenarnya adalah aturan, peraturan-peraturan yang transparan.

Sehingga peraturan itu bisa memberikan level yang sama dari segi kompetisi kepada semua orang yang menjadi developer.

Dulu itu memang sulit sekali.

Karena misalnya seorang developer mendapatkan KLB 3-4, kemudian ternyata tetangga bisa dapat 5.

Nah, ni kan sangat tidak jelas.

Dulu itu.

Kemudian waktu Pak Anies menjadi gubernur, saya ingat sekali bahwa KLB itu aturannya diubah, ya sehingga memudahkan bagi semua orang bukan saja developer.

Artinya semua orang untuk membangun sesuatu.

Tadi yang Bapak singgung mengenai public space.

Memang public space ini di Jakarta itu menurut saya sudah cukup baik. Cukup baik.

Tetapi memang perawatan public space yang masih kurang, perawatan itu it's very expensive.

Because basically maintaining something is expensive.

Jadi ini yang menjadi masalah setiap kali membuat public space.

Kemudian tidak punya dana dan mungkin kedisiplinan untuk me-maintain public facility tersebut.

Itu mungkin yang bisa menjadi catatan bagi DKI untuk menyediakan fund yang cukup untuk maintaining the public space.

Satu lagi, tadi disebutkan bahwa kebudayaan itu atau culture i totally agree.

Karena kita nggak mau Jakarta itu hanya sebagai sebuah kota metropolitan seperti kota lain.

Oh, ke Jakarta buat apa itu?

Cuma kota metropolitan, kok.

Tapi uniqueness-nya itu memang belum ada di Jakarta iniS seperti what is the uniq selling point yang bisa kita sampaikan kepada pendatang atau yang ingin merencanakan travelling ke Indonesia atau ke Jakarta.

Bukan hanya mem-visit satu kota besar atau satu kota metropolitan, tetapi culture itu harus ada.

Culture ini memang tricky sekali.

Apakah culture ini didesain ataukah it develops by its own.

Bisa juga banyak kota di dunia ini ternyata pengembangan culture itu berkembang dari masyarakatnya sendiri.

Seperti kita tahu di Brazil, di Sao Paulo mereka itu culture-nya dikembangkan oleh masyarakatnya, kemudian di support oleh the government atau the city untuk mengembangkan itu lebih jauh lagi.

Jadi itu benar-benar dari masyarakat yang mengembangkan culture tersebut baru bisa sustainable menurut saya.

Kalau didesain oleh elit saja, menurut saya agak sulit untuk menjadikan culture itu sustainable.

mMngkin itu dari saya, Pak Anies terima kasih.

Makasih ya.

Tepuk tangan untuk Pak Harun.

Malam semua.

Saya Najeela Shihab.

Saya tuh sebetulnya Mas Anies, Mas Ilham dan Pak Bambang, kalau disuruh ngomong soal perspektif pendidikan suka deg-degan. Kenapa?

suka deg-degan. Kenapa?

Karena pendidikan, tuh sering banget disalah-salahin sebagai sumber dari banyak masalah.

Yang kemudian kita lihat terjadi di kota.

Jadi ini mau ngaku dosa sekarang sebagai bagian dari sistem pendidikan.

Tetapi juga sebetulnya ini semacam a cry for help.

Karena apa?

Karena kalau kita bicara pendidikan sebetulnya salah satu masalah yang sangat mendasar, perspektif bahwa tujuan pendidikan, tuh individual sukses, sih.

Jadi setiap kali kita bicara pendidikan kita bicara tentang talent growth.

Seolah-olah definisi pendidikan yang sukses adalah kalau saya sukses.

Kita selalu lupa bahwa pendidikan itu sebetulnya soal sistem growth juga.

Sama sekali bukan hanya soal talent atau orang per orang gitu.

Tentunya untuk bisa jadi jembatan yang efektif di masa depan, salah satu sistem yang sangat berkait dengan pendidikan adalah apa yang terjadi di kota, sistem perkotaan, gitu ya fondasinya apakah visi-misi dari pimpinan kota, nilai-nilai yang muncul dalam bentuk infrastruktur kota ataupun kapabilitas kota yang lain strategi-strategi yang digunakan.

Sebetulnya sangat sederhana, sih konsep pendidikan yang mungkin buat semua sangat mudah dipahami adalah simetri.

Jadi we cannot expect something out of a system.

Kalau misalnya orang-orang di sistem itu tidak pernah mengalami itu.

Jadi kita bicara masalah sampah.

Kalau misalnya anak-anak ini tidak pernah belajar tentang sampah, maka jangan surprise 20 tahun - 30 tahun kemudian pada akhirnya mereka tidak bisa menjadi orang yang berkolaborasi menyelesaikan masalah sampah, apalagi berkontribusi jadi problem solver untuk menyelesaikan masalah sampah.

Karena memang jembatannya nggak menyiapkan talenta-talenta kita untuk ini.

Saya setiap hari berhubungan tahun ini udah bukan Gen Alfa yang mulai masuk ke SMA dan kampus udah mulai Gen Beta.

Jadi udah nggak ngomongin Gen Z, Gen Alfa lagi, nih.

2025 Gen Beta setiap hari ketemu, masih baik ibu dan Bapak.

Tapi sesederhana sampah aja itu sesuatu yang missing di prosesnya, apalagi ngomong kolaborasi Pak Bambang, Mas Anies.

Jadi di sistem pendidikan kita itu adalah sistem yang sangat amat tidak mengajarkan kolaborasi.

Ini sistem yang sangat kompetitif dan memenangkan orang-orang tertentu.

Itu lagi, itu lagi.

Tadi kita juga sempat bicara soal contoh negara.

Tadi Pak Bambang bilang Myanmar nggak vibrant sama sekali dsb.

Kita bisa lihat Vietnam, misalnya.

Luar biasa sangat vibrant, you can actually feel it.

Saya ke sana hampir tiap 2-3 tahun sekali.

Bicara tentang reform pendidikannya, tapi bukan cuma sistem pendidikannya.

Ketemu orang di jalan aja itu tuh beda.

Ketemu profesional-profesionalnya di banyak pihak itu juga beda.

Itu kelihatan sekali betapa reformasi di pendidikan itu jadi solusi untuk banyak masalah dalam jangka panjang.

Nah dan Vietnam itu sangat clear sebetulnya kota-kotanya bahwa pendidikan mereka nggak cuma bicara akses dan kualitas, tapi juga secara langsung meng-address inequality.

Gimana mengurangi kesenjangan ,antara provinsi-provinsi kabupaten-kabupaten yang ada di sana.

Isunya kami di PSPK da beberapa eksperimentasi, sebetulnya lewat lingkar daerah belajar yang mudah-mudahan nanti bisa banyak kolaborasi juga, Mas Anies, Mas Dedi, sama Karsa City Lab.

Jadi LDB ini lingkar daerah belajar sebetulnya tujuannya menguatkan kolaborasi antarstakeholder pendidikan.

Alhamdulillah sejak masanya Mas Anies Masanya Mas Pram, Mbak Atika juga banyak sekali men-support.

Jakarta tuh salah satu pemerintah daerah yang sangat aktif sebetulnya di lingkar daerah belajar.

Kemarin jadi salah jadi host-nya KPI, konferensi pernikahan Indonesia.

Tahun depan Insya Allah Sleman.

Kalau bisa ngobrol sama wali kota, Bapak Wali Kota Banjar juga menarik.

Tapi cukup banyak contoh-contoh di mana sebetulnya yang menggerakkan reformasi pendidikan daerah itu adalah justru komunitas dan organisasi pendidikan.

Jadi bukan mulai dari kebijakan pemerintahnya tapi mulai dari praktik-praktik baik yang terjadi di tingkat sangat lokal, yang kemudian diagregasi oleh pemerintah daerah.

Saya ambil contoh misalnya tadi sengaja nyari data Kediri, kirain karena Mas Pram masih ada di sini.

Tapi dibandingkan Jakarta misalnya inovasi-inovasi Kediri itu bahkan sudah one step ahead.

Misalnya waktu itu kita kerja sama Jakarta buat kartu Jakarta Pintar.

Itu sebenarnya sejak masanya Pak Ahok, kemudian lanjut di masa Mas Anies dan Mas Pram ini.

Kediri bikin eksperimentasi dengan beasiswa tata kelola.

Tapi satu hal yang Kediri udah mulai dan Kupang itu font free school misalnya.

Font free school itu bukan cuma polisi pendidikan sebetulnya, karena berkaitan sama yang Abigail bilang tadi misalnya kalau dia font free kemudian aktivitas anak-anak ini apa, sih?

Apakah ada ruang-ruang ramah tempat anak bermain.

Bagaimana kemudian pendidikan keluarga di luar sekolahnya sendiri dan sebagainya.

Jadi banyak sekali contoh di mana kolaborasi lintas sektor jadi penting.

Saya punya banyak data juga Kabupaten Pali, misalnya di Sumatera Selatan.

Itu luar biasa pengukuran-pengukuran yang mereka lakukan untuk meningkatkan literasi di masyarakatnya.

Sidrap itu karena mereka PLTN-nya besar di Sulawesi Selatan itu. kemudian

pendidikan lingkunganny juga salah satu yang terbaik di Indonesia.

Jadi banyak kabar baiknya, sih sebetulnya, Ibu dan Bapak.

Tapi memang jumlahnya itu belum signifikan dibandingkan dengan luasnya sistem pendidikan kita dan banyaknya daerah-daerah.

Mungkin itu catatan catatannya, Mas Anies.

Mudah-mudahan memantik diskusi-diskusi lanjutan.

Terima kasih.

Loading...

Loading video analysis...